Dan (ingatlah juga),
tatkala Tuhanmu memaklumkan :” Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami
akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka
sesungguhnya adzab-ku sangat pedih”
(QS. Ibrahim, 14 :7)
Bersyukur menurut KBBI didefinisikan sebagai rasa terima kasih kepada Allah dan adanya
perasaan lega , senang, dsb. Penelitian yang dilakukan oleh Tulbure (2015)
pada sekitar 100 orang dewasa di Rumania tentang hubungan antara bersyukur,
kondisi depresi dan religiusitas seseorang, menyebutkan bahwa ada sebuah
hubungan yang terbalik antara perasaan bersyukur dan kondisi depresi yang
dimiliki oleh seseorang. Mereka yang memiliki rasa bersyukur yang tinggi
cenderung memiliki symptom depresi yang lebih sedikit. Selain itu, rasa syukur
yang dimiliki oleh mereka yang memilik tingkat religiusitas yang baik,
cenderung lebih kuat dari pada mereka yang memiliki tingkat religiusitas yang
kurang.
Memaafkan
“Perkataan yang baik
dan pemberian maaf lebih baik dari
sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima).
Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun
(QS. Al Baqarah, 2 : 263)
“Jika kamu menyatakan
suatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan
sesuatu kesalahan (orang lain),
maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa”
(QS. An-Nisaa, 4: 149)
Nabi Musa telah bertanya
kepada Allah: “Ya Rabbi! Siapakah diantara hamba-Mu yang lebih mulia menurut
pandangan-Mu?” Allah berfirman : “Orang yang apabila berkuasa (menguasi musuh),
dapat segera memaafkan”.
(Hadits Qudsi Riwayat Kharaithi dari Abu Hurairah)
Memaafkan adalah sebuah kondisi tertentu dalam diri yang
melibatkan pikiran, perasaan dan tindakan tertentu. Pemikiran yang masuk dalam
konteks memaafkan misalnya yaitu saat ada seseorang atau sesuatu yang melakukan
ketidakadilan terhadap diri seseorang. Pikiran tentang peristiwa tersebut
memicu munculnya perasaan marah, kecewa, kesal, geram, dan putus asa yang
akhirnya menjadi masalah karena tersimpan lama dalam diri dengan intensitas
yang semakin tinggi. Maka dalam konteks memaafkan, seseorang tersebut menyadari
bahwa rasa marahnya muncul dan ia mampu bertindak sebagai subjek sehingga bisa
melepaskan rasa marah yang timbul dan mampu menemukan hikmah untuk perkembangan
dirinya( Gani, 2011)
Ibin Katibin, seorang psikiater sekaligus pengarang buku
“Psikoterapi Holistik Islami” mengatakan bahwa gejolak jiwa yang marah dan
perasaan benci terhadap seseorang akan menimbulkan goncangan pada
neurotransmitter sehingga apabila dibiarkan akan memunculkan jiwa otonom yang
menguasai keadaan. Maka dengan memaafkan orang lain, insya Allah fungsi
neurotransmitter akan kembali normal dan jiwa akan kembali nyaman. (Tadjudin,
2007)
Terapi memaafkan ternyata juga bermanfaat untuk mengurangi
tingkat kambuh para pemakai narkoba di sebuah pusat rehabilitasi narkoba di
Filipina. Bahkan yang terjadi, tidak hanya tingkat kambuh pasien yang bisa
dikurangi, tingkat rasa syukur dari pasien pun juga meningkat dari sebelumnya
setelah dilakukan dua belas kali sesi forgiveness
therapy. Sebuah dampak positif yang tidak didapatkan pada kelompok kontrol
yang tidak diberikan perlakuan forgiveness
therapy oleh peneliti (Orbon,dkk 2015).
Memaafkan juga menjadi salah satu alternative coping untuk dampak negatif dari
pergaulan dengan sesamanya yang dialami oleh remaja, baik itu dalam bentuk bullying, balas dendam, disakiti secara
fisik atau emosi. Termasuk juga bermanfaat untuk mereka yang merupakan korban
agresi fisik yaitu untuk menurunkan tingkat kemarahan, rasa permusuhan, kelakuan
buruk, agresivitas dan bahkan menaikkan tingkat empati mereka(Flanagan, dkk,
2012 & Park, et all, 2013)
So, masih ragu untuk terus bersyukur? Masih ga rela untuk memaafkan orang lain? yuk mikir :D