Blog ini namanya Perjalanan Makna. Niat menamai blog ini dengan nama tersebut disebabkan keinginan penulis untuk bisa terus berjalan di muka bumi ini sembari menemukan makna-makna baru dalam hidup. Makna yang berarti hikmah, makna yang berarti berkesan, makna yang berarti kebermanfaatan, makna yang berarti pelajaran, makna yang berarti ilmu.
Sebuah pelajaran yang berarti dari sebuah buku yang berjudul Mengikat Makna karya pak Hernowo. Penulis buku tersebut mengajarkan bagaimana kita bisa mengikat makna dengan melakukan dua kegiatan sekaligus. Apa itu? Membaca dan menulis. Membaca saja tidak akan ada artinya jika tidak dituliskan. Menulis saja juga tidak akan memiliki kekuatan maupun kreativitas karya jika tidak memiliki referensi yang cukup dari membaca.
Harus diakui, sudah cukup lama penulis blog ini vakum untuk menulis lagi. Penyebabnya? sederhanan saja. Penulis beberapa waktu ini sangat jarang membaca! Hanya itu? ya hanya itu saja. Mana mungkin tergerak menulis, sedangkan membaca saja jarang. Sekali lagi, teori menulis-membaca nya pak Hernowo terbukti pada saya. Jadi teringat juga dengan diskusi saya dengan salah satu guru saya. Beliau mengatakan, kalau apa yang ada dalam pikiranmu itu-itu saja saat memberikan training, berarti kamu malas baca. Guru saya yang lain pun mengatakan, kalau masalah kamu dari waktu ke waktu itu-itu saja, itu artinya kamu tidak tumbuh.
Well, maka postingan ini sekaligus menandai keaktifan menulis dari pemilik blog ini. Sekaligus mengawali untuk munculnya karya tulis baik dalam format ilmiah maupun karya bebas. Selamat menunggu tulisan saya berikutnya.
Salam penuh Makna!
Monday, September 4, 2017
Sunday, January 8, 2017
Bersyukur dan Memaafkan
Dan (ingatlah juga),
tatkala Tuhanmu memaklumkan :” Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami
akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka
sesungguhnya adzab-ku sangat pedih”
(QS. Ibrahim, 14 :7)
Bersyukur menurut KBBI didefinisikan sebagai rasa terima kasih kepada Allah dan adanya
perasaan lega , senang, dsb. Penelitian yang dilakukan oleh Tulbure (2015)
pada sekitar 100 orang dewasa di Rumania tentang hubungan antara bersyukur,
kondisi depresi dan religiusitas seseorang, menyebutkan bahwa ada sebuah
hubungan yang terbalik antara perasaan bersyukur dan kondisi depresi yang
dimiliki oleh seseorang. Mereka yang memiliki rasa bersyukur yang tinggi
cenderung memiliki symptom depresi yang lebih sedikit. Selain itu, rasa syukur
yang dimiliki oleh mereka yang memilik tingkat religiusitas yang baik,
cenderung lebih kuat dari pada mereka yang memiliki tingkat religiusitas yang
kurang.
Memaafkan
“Perkataan yang baik
dan pemberian maaf lebih baik dari
sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima).
Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun
(QS. Al Baqarah, 2 : 263)
“Jika kamu menyatakan
suatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan
sesuatu kesalahan (orang lain),
maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa”
(QS. An-Nisaa, 4: 149)
Nabi Musa telah bertanya
kepada Allah: “Ya Rabbi! Siapakah diantara hamba-Mu yang lebih mulia menurut
pandangan-Mu?” Allah berfirman : “Orang yang apabila berkuasa (menguasi musuh),
dapat segera memaafkan”.
(Hadits Qudsi Riwayat Kharaithi dari Abu Hurairah)
Memaafkan adalah sebuah kondisi tertentu dalam diri yang
melibatkan pikiran, perasaan dan tindakan tertentu. Pemikiran yang masuk dalam
konteks memaafkan misalnya yaitu saat ada seseorang atau sesuatu yang melakukan
ketidakadilan terhadap diri seseorang. Pikiran tentang peristiwa tersebut
memicu munculnya perasaan marah, kecewa, kesal, geram, dan putus asa yang
akhirnya menjadi masalah karena tersimpan lama dalam diri dengan intensitas
yang semakin tinggi. Maka dalam konteks memaafkan, seseorang tersebut menyadari
bahwa rasa marahnya muncul dan ia mampu bertindak sebagai subjek sehingga bisa
melepaskan rasa marah yang timbul dan mampu menemukan hikmah untuk perkembangan
dirinya( Gani, 2011)
Ibin Katibin, seorang psikiater sekaligus pengarang buku
“Psikoterapi Holistik Islami” mengatakan bahwa gejolak jiwa yang marah dan
perasaan benci terhadap seseorang akan menimbulkan goncangan pada
neurotransmitter sehingga apabila dibiarkan akan memunculkan jiwa otonom yang
menguasai keadaan. Maka dengan memaafkan orang lain, insya Allah fungsi
neurotransmitter akan kembali normal dan jiwa akan kembali nyaman. (Tadjudin,
2007)
Terapi memaafkan ternyata juga bermanfaat untuk mengurangi
tingkat kambuh para pemakai narkoba di sebuah pusat rehabilitasi narkoba di
Filipina. Bahkan yang terjadi, tidak hanya tingkat kambuh pasien yang bisa
dikurangi, tingkat rasa syukur dari pasien pun juga meningkat dari sebelumnya
setelah dilakukan dua belas kali sesi forgiveness
therapy. Sebuah dampak positif yang tidak didapatkan pada kelompok kontrol
yang tidak diberikan perlakuan forgiveness
therapy oleh peneliti (Orbon,dkk 2015).
Memaafkan juga menjadi salah satu alternative coping untuk dampak negatif dari
pergaulan dengan sesamanya yang dialami oleh remaja, baik itu dalam bentuk bullying, balas dendam, disakiti secara
fisik atau emosi. Termasuk juga bermanfaat untuk mereka yang merupakan korban
agresi fisik yaitu untuk menurunkan tingkat kemarahan, rasa permusuhan, kelakuan
buruk, agresivitas dan bahkan menaikkan tingkat empati mereka(Flanagan, dkk,
2012 & Park, et all, 2013)
So, masih ragu untuk terus bersyukur? Masih ga rela untuk memaafkan orang lain? yuk mikir :D
Orang Beriman Tertib di Jalan Raya
Awal
mula melihat tulisan “Orang Beriman Tertib di Jalan Raya”, saya langsung
mengernyitkan dahi sambil bertanya, apa hubungannya? Sembari merenung, selintas
muncul dalam pikiran saya, tulisan itu telah menghipnosis saya ternyata.
Sederhana, tapi memaksa saya untuk berpikir keras. Mencoba menerka apa makna
dari tulisan tersebut sekaligus membuatnya rasional di pikiran saya.
Hipotesis
yang muncul yaitu semakin orang beriman semakin dia tertib di jalan raya.
Pertanyaannya sekarang bagaimana orang bisa dikatakan beriman? Kalau menurut
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) pengertian beriman adalah mempunyai
keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jika demikian, maka
termasuk juga meyakini bahwa Tuhan itu pasti Maha Baik. Tuhan juga pasti Maha
Indah, semuanya teratur dengan baik olehNya. Kalau tidak salah, sepertinya
tidak pernah kita mendengar Tuhan Maha Terburu-buru atau Tuhan Maha Berantakan
bukan?
Lha
berarti apa analisisnya kalau dijalan masih sering kebut-kebutan yang membuat
orang lain tidak nyaman? Lalu bagaimana juga jika seenaknya menerobos lampu
merah atau membuat jalan macet karena berhenti tidak pada tempatnya? Barangkali
memang kadar “beriman” yang dimiliki seseorang tersebut perlu dipertanyakan kembali.
Selanjutnya,
dari ngendikane kanjeng nabi,
dikatakan bahwa "Tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga dia
mencintai kebaikan untuk saudaranya, sebagaimana dia mencintai kebaikan itu
untuk dirinya sendiri". Berdasarkan perkataan mulia tersebut, barangkali kita
bisa dapatkan analisis ini :
1. Saya suka kalau ada orang naik motor dengan kecepatan
standar dan tertib, sebagaimana banyak orang juga menyukai hal yang sama #NoNgebutbikinOrangTakut
2. Saya suka kalau pas lampu merah, saat saya mau ke kiri
(jalan terus) saya tidak harus berhenti karena hak jalan saya dipakai plus
dipenuhi pengendara yang mau lurus. Sebagaimana banyak orang juga menyukai hal
yang sama #NoKorupsiHakJalanOrangLain
Nah,
menjadi gamblang kiranya ya maksud dari tulisan “Orang Beriman Tertib di Jalan
Raya”. Orang beriman pasti akan senang saat saudaranya senang karena dia juga
senang apa yang disenangi oleh saudaranya. Orang beriman pasti tidak akan tega
mengambil hak saudaranya, termasuk mengambil hak jalan saudaranya saat di jalan
raya. Orang beriman pasti juga senang keteraturan termasuk mematuhi peraturan
berlalu lintas yang sudah ditetapkan. Kalau demikian, hipotesis bahwa semakin
tinggi keimanan seseorang semakin tertib seseorang di jalan raya (semoga) bisa
diterima.
Membayangkan
betapa indahnya saat bu menteri koordinator bidang pembangunan manusia dan
kebudayaan berhasil membangun sinergi dengan pihak kepolisian untuk merancang
silabus pelatihan dengan tema “Pembentukan karakter masyarakat Indonesia lewat
perilaku tertib di jalan raya”. Pelatihan yang tentu saja tidak hanya akan
berdampak pada kadar keimanan seseorang, tetapi juga berdampak luas pada
berbagai bidang di Negara Indonesia tercinta ini.
Maka
menjadi semakin indahlah negeri ini saat semakin banyak orang yang berhasil
memimpin diri untuk tertib di jalan raya. Maka menjadi semakin tertatalah
negeri ini saat semakin banyak orang yang berhasil menata diri untuk tertib di
jalan raya. Maka menjadi semakin makmurlah negeri ini saat orang tidak
seenaknya mengambil hak orang lain yang bukan haknya, termasuk hak jalan di
jalan raya.
Jadi
kalau ada sebuah perkataan yang mengatakan bahwa life is choice atau hidup adalah pilihan, berarti perilaku tertib
atau tidak tertib di jalan raya adalah sebuah pilihan. Dengan sadar saya, Anda
dan kita semua mulai saat ini dan seterusnya bisa mengatakan, “Saya memilih
untuk tertib di jalan raya karena saya adalah orang beriman dan memiliki
karakter yang baik”. Tentu saja anda boleh merenungkannya terlebih dahulu,
sebelum Anda mulai praktikkan kebiasaan untuk tertib di jalan raya, sekarang,
dan seterusnya.
by the way, tulisan ini akhirnya dipublish di Bernas :)
Subscribe to:
Posts (Atom)