“Tidak ada anak
malas, yang ada adalah mereka yang tidak tahu apa tujuan mereka dan apa pentingnya
tujuan mereka tersebut”
Dalam ilmu Neuro Linguistic Programming (NLP), ada
salah satu presuposisi (pengandaian) dari NLP yang berbunyi “mind and body are connected, therefore
influence each other”- pikiran dan tubuh saling berhubungan, oleh karena
itu saling mempengaruhi. Presuposisi ini menjelaskan bahwa pikiran dan tubuh
adalah dualisme yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Saat pikiran kita merasa bisa dan ingin
melakukan begitu banyak hal, tetapi tubuh kita dalam kondisi tidak fit (atau berlaku skenario sebaliknya), ini disebut kondisi yang tidak
selaras. Saat kondisi tidak selaras maka produktivitas pun menurun.
Jika kita gunakan presuposisi NLP di atas untuk
membedah kasus ‘malas belajar’ pada anak atau siswa, bisa jadi kemalasan anak atau
siswa untuk belajar disebabkan tidak adanya hal yang memotivasi pikiran mereka
untuk belajar dan tidak mendukungnya kondisi tubuh maupun lingkungan tempat
mereka belajar. Saat kedua penyebab ini bisa dikelola dengan baik, tentu saja
semangat belajar anak akan jauh lebih mudah dimunculkan.
So, bagaimana NLP memberikan solusi untuk mengelola
tubuh dan pikiran seorang anak agar tetap termotivasi belajar?
Salah satunya yaitu dengan menggunakan konsep Neuro-Logical Level (NLL) yang
dipopulerkan oleh Robert Dilts. Menggunakan NLL ini, kita bisa memetakan
bagaimana proses perubahan dalam diri seseorang bisa dipahami dengan
menggunakan model level atau tingkatan di dalamnya. Adapun urutan
tingkatan-tingkatan perubahan dalam NLL ini (mulai dari yang paling dasar) yaitu
:
1.
Lingkungan (environment), yaitu bagaimana kita
bereaksi terhadap kondisi eksternal tempat kita beraktivitas
2.
Perilaku (behavior), yaitu tentang perilaku
spesifik yang sedang kita lakukan
3.
Kapabilitas (capability), yaitu sejumlah skill yang kita miliki dan kita gunakan
sehari-hari baik hard skill maupun soft skill
4.
Keyakinan atau
nilai (belief/ value) yaitu kumpulan
berbagai macam hal yang sangat kita yakini dan menjadi dasar dari sebuah
perilaku
5.
Identitas (identity), yaitu terkait dengan
identitas diri, keberadaan visi dan misi hidup termasuk nilai inti.
6.
Spiritual (spiritual), yaitu tingkatan yang
didalamnya seseorang akan menanyakan mengenai apa makna keberadaannya di dunia
ini.
Berbeda dengan pola penanganan terhadap anak ‘malas
belajar’ yang biasanya dilakukan oleh para orang tua maupun guru, yang
cenderung baru sampai tingkatan perilaku, menggunakan NLL sebagai solusi untuk
anak ‘malas belajar’ tidak hanya sampai di tingkatan perilaku saja, tetapi juga
menyentuh level yang lain, sebagaimana digambarkan berikut ini :
1.
Melakukan
identifikasi lebih lanjut tentang lingkungan
seperti apa yang ideal menurut anak sehingga dia merasa nyaman untuk
belajar. Adakah pengaruh dari eksternal yang membuatnya malas belajar? mungkin
dari teman, mungkin karena game, mungkin karena guru yang tidak menyenangkan,
dan lain sebagainya.
2.
Jika tingkatan lingkungan sudah selesai, bisa
melanjutkan ke tingkatan untuk mengkondisikan perilaku belajarnya agar lebih fokus. Misalnya saja dengan
menyepakati kapan waktu anak belajar, berapa lama satu sesi untuk belajar,
memberikan reward atau punishment jika melanggar aturan tentang
belajar yang telah disepakati, dan lain sebagainya
3.
Pada tingkatan kapabilitas, kita bisa memberikan
tip-tip belajar yang efektif dan efisien dari para ahli seperti speed reading, quantum learning,
visualisasi, memberikan anjuran untuk memodel cara belajar orang lain yang
dianggap cerdas dan sebagainya
4.
Adapun pada
tingkatan keyakinan/nilai, kita bisa
menanyakan kepada anak tentang:
·
Apa untungnya
jika belajar rajin
·
Apa ruginya jika
masih tetap malas belajar
·
Apa kira-kira
hubungan antara rajin belajar dengan cita-cita atau keinginannya di masa depan?
5.
Pada tingkatan identitas, kita bisa menghubungkan
dengan apa saja peran-peran yang sedang dan akan dimiliki oleh anak nantinya,
misalnya saja :
·
sebagai kakak,
kamu harus memberikan contoh yang baik pada adikmu
·
sebagai seorang
siswa dari sekolah, kamu harus bisa menunjukkan citra yang positif
·
Kalau ke depan
kamu ingin menjadi seorang pemimpin besar, tentu kamu harus rajin belajar
·
Apa jadinya saat
kau menjadi anak pintar nantinya? Kau akan banyak ditawar oleh orang lain
6.
Spiritual, pada
level ini, kita bisa menghubungkan perilaku malas belajar dengan pahala dan
dosa, konsep bersyukur kepada Tuhan, berbakti kepada orang tua, sebagai bentuk
ibadah dan sebagainya.